video was made by Mohammad Windy

Catherine Scott dalam bukunya Learn to Teach: Teach to Learn menyebutkan bahwa jika kita salah dalam memuji anak dan terjebak pada memberi label positif menyebabkan anak menjadi sombong, terlalu fokus pada hak, dan suka menyalahkan orang lain ketika mengalami kesulitan.

Lalu bagaimana caranya memuji yang benar?

  • Latih telinga, mata, dan rasa, untuk menjadi detektif kebaikan. Perhatikan anak Anda. Perhatikan saat ia melakukan kebaikan. Meski kecil, meski sangat sederhana. Meski itu hanya berupa senyuman saat Anda berbicara dengannya, mengucapkan doa setelah makan, bermain dengan saudaranya dengan akur, berangkat sekolah tanpa mengeluh, atau sekadar menutup keran air. Sering kali orangtua abai untuk memuji hal-hal kecil yang sehari-hari dilakukan anak, menganggap hal itu “sudah seharusnya”. Padahal bermula dari hal-hal kecil yang sudah baik inilah muncul dorongan untuk melakukan hal-hal baik lainnya yang sama atau lebih besar, jika dihargai.

Buatlah catatan kebaikan. Kebanyakan manusia menghapuskan semua catatan kebaikan seseorang dalam hatinya hanya karena satu saja keburukannya, dan tetap mengingat keburukannya meski telah banyak kebaikan yang dilakukannya. Catatan kebaikan memudahkan kita untuk semakin bersyukur terhadap hal-hal kecil. Bukankah dengan bersyukur akan semakin bertambah nikmat-Nya? Kebanyakan konflik dalam hu­bungan manusia (bukan hanya dengan anak) disebabkan kita sibuk menuntut orang lain begini dan begitu, mengeluhkan ini dan itu, tapi sangat sedikit bersyukur.

Berikut ini cara MEMUJI yang EFEKTIF:

  • Puji perilaku, usaha, dan sikapnya, bukan karakteristik orangnya.
  • Nyatakan konsekuensi positif dari perilaku itu.
  • Nyatakan dalam kalimat sederhana yang mudah dipa-hami.
  • Tanamkan keimanan untuk siapa/apa dia memelihara perilaku baik itu.

Memuji perilaku, usaha, dan sikap, membuat anak merasa yakin bahwa ia mempunyai kendali atas perilakunya. Perilaku adalah hasil usaha, bukan sesuatu yang melekat, bersifat genetik, dan tidak bisa diubah.

Menyatakan konsekuensi positif dari perilaku, usaha, dan sikap anak, berarti mengajarkan kepadanya untuk memahami sebab akibat dari sebuah perbuatan. Pilihlah konsekuensi yang kasat mata dan bukan berupa janji.

Pujian yang dinyatakan dengan kalimat sederhana memberikan pesan yang jelas, perilaku apa yang diharapkan dan tidak berlebihan.

Menanamkan keimanan menumbuhkan keyakinan bahwa perbuatan baiknya bukan sekadar untuk menyenangkan orang lain termasuk orangtuanya sendiri, tetapi sebagai bagian dari tujuan penciptaan manusia.

Contoh memuji yang efektif:

  • “Bagus sekali Kakak sudah meletakkan sepatu di rak sepulang sekolah, rumah kita jadi rapi, Allah suka pada keindahan.”
  • “Wah…kalian berdua bermain dengan akur dan berbagi. Mama bahagia kalian saling menghargai dan menya-yangi, Tuhan menyayangi orang yang menyayangi sesama.”

Contoh pujian yang tidak efektif:

  • “Duh…hebatnya anak ayah, paling keren seduniaJ. Sudah besar, pintar merapikan kamar. Jangan seperti kemarin­-kemarin ya, berantakan di mana-mana, sakit mata ayah melihatnya.”

Ada tiga kesalahan dalam pujian di atas:

  • Memuji karakteristik orangnya bukan perilakunya.
  • Diikuti dengan kritikan dan mengungkit kesalahan yang telah lalu.

Pujian yang diikuti kritikan atas perilaku yang sudah terjadi di masa lalu akan menjadikan pujian itu kehilangan arti. Memuji karakteristik orang, seperti pintar, cantik, hebat, sudah besar dan hal-hal lain yang sifatnya membentuk konsep, akan membingungkan karena sifat-sifat tersebut relatif. Ketika suatu saat nanti Anda dihadapkan pada kondisi yang berbeda, Anda akan terjebak dalam sikap yang tidak kongruen. Misalnya, ketika­ anak minta izin untuk menonton film yang bukan untuk usianya di malam hari bersama teman-temannya, Anda me-ngatakan, “Masih kecil kok nonton film remaja, malam-malam pula seperti anak nakal saja.” Lho, ketika memuji kamar yang rapi, Anda bilang dia sudah besar; mengapa ketika mau nonton film Anda katakan masih kecil? Jadi sebetulnya dia sudah besar atau masih kecil? Ketika memuji, Anda mengatakan ia anak hebat, sekarang Anda mencelanya seperti anak nakal. Kenapa tadi hebat dan keren sekarang jadi nakal? Bingung sendiri, kan?

Dweck (2006), seorang profesor bidang psikologi di Stanford University, dalam penelitiannya mengenai efek memuji, menemukan bahwa anak yang dipuji kepintarannya mudah frustrasi saat mengalami kegagalan dan tidak berani mengambil risiko. Anak-anak yang dipuji usaha dan perilakunya, cepat bangkit saat tidak berhasil menyelesaikan sebuah tugas dan mau berusaha lebih keras pada kesempatan berikutnya. Memuji dengan kata-kata yang berlebihan akan mendatang rasa sombong dan menjerumuskan, bahkan Rasulullah saw. mengumpamakan orang yang memuji berlebihan seperti memotong leher orang tersebut.

Kalau begitu, apakah tidak boleh menegur anak? Tentu boleh. Pada poin sebelumnya telah dijelaskan cara memuji­ yang efektif, berikut ini cara menegur yang efektif:

  • Tegur PERILAKU-nya bukan karakteristik orangnya.
  • Katakan secara tepat apa kesalahan perilakunya.
  • Katakan pada anak bahwa dia mampu membuat perubahan atau pernah bersikap lebih baik dari itu.
  • Tidak mengungkit kesalahan yang lalu.
  • Tetap cintai orangnya.

Contoh menegur yang efektif:

  • “Kak, karena kamu tidak menyiapkan buku sebelum tidur, PR-mu tertinggal. Selama ini ibu mengamati bahwa kamu akan ingat membawa PR-mu jika sebelum tidur tas sekolahmu sudah disiapkan. Artinya, kamu BISA lebih baik dari hari ini” (disertai senyuman dan tepukan di bahunya).

Contoh teguran yang lebay:

  • “Kak, tuh kan…PR-mu ketinggalan lagi, masih muda jangan pelupa dong. Makanya siapkan tas sekolah sebelum tidur. Ingat nggak…? Minggu lalu juga gini kan? Siapa coba yang repot? Ibu, kan…harus mengantar PR-mu ke sekolah. Besok-besok jangan malas dan jangan lupa siapkan ya” (rrrgghh…mengeluarkan suara lebah terbang, menggerutu keluar kamar, dan belum sampai di luar kamar sudah kembali lagi…) “Ingat lho ya, ibu nggak mau ngantar PR-mu lagi.”

Mencela sebagai pelupa, pemalas, akan melukai konsep dirinya dan membentuk konsep diri yang buruk, seolah tiada harapan untuk diperbaiki. Bukankah Tuhan tidak suka kepada orang yang suka mengutuk dan memberikan gelar buruk? Menegur perilakunya dan menunjukkan bukti bahwa ia pernah bisa melakukan yang lebih baik, memberikan keyakinan bahwa berubah itu mudah.

Sumber: www.okinafitriani.com
IG @okinaf
FB Okina Fitriani