Kalau kita punya keyakinan yang tidak memberdayakan terhadap diri sendiri, terhadap anak, suami atau orang lain, jangan di pelihara ya.. Mending pelihara kucing atau ayam  🙂
Keyakinan-keyakinan yang tidak memberdayakan sering disebut limiting beliefs atau mental block. Keyakinan ini jika disematkan kepada diri sendiri akan menghambat kita bertumbuh menjadi lebih baik.  Jika disematkan pada orang lain menjadi label negatif yang selain tidak baik bagi orang tersebut, juga mengganggu emosi kita sendiri saat menghadapi orang tersebut.

Contohnya apa sih limiting belief itu? Kalau ada yang bilang begini,
“Aku itu pemalas.”
“Anakku  yang bungsu itu lemot.”
“Suamiku nggak pernah mendengarkan aku.”
“Aku nggak bisa bicara di depan orang banyak.”
Limiting belief atau label buruk yang kita sematkan pada diri sendiri maupun orang lain membuat kita  tidak punya respon yang luas, sehingga merugikan diri  atau orang-orang terdekat yang kita beri label itu. Kok bisa merugikan?

Contohnya pengalamanku sendiri. Dulu, aku pernah diberi label pemalas oleh Mamiku. Karena Mami bilang aku pemalas, sedangkan Mami adalah orang yang mengasuh aku sejak lahir hingga dewasa, dan aku anggap Mami adalah orang yang paling kenal diriku, maka aku percaya bahwa aku memang pemalas.
 Suatu ketika aku pernah ditawari ikut mengerjakan sebuah proyek bersama teman-teman.
“Ini proyek pakai deadline lho! Jadi harus rajin dikerjakan.” Ujar temanku.
Aku yang tadinya semangat ingin ikut, tiba-tiba merasa tak sanggup. Dalam hati aku berkata,
“Lha, harus rajin dikerjakan? Aku kan pemalas. Mana bisa? Nanti aku bakal keteteran mengejar deadline. Mending dari awal saja aku nggak usah ikutan.”
Karena pemikiran itu, akhirnya aku memutuskan tak jadi ikut mengerjakan proyek. Padahal setelah proyek itu berjalan, aku banyak punya waktu luang. Seandainya aku jadi ikut, pasti bisa mengerjakan pekerjaan itu. Akhirnya, teman-temanku yang mengerjakan proyek  memperoleh keberhasilan, sementara aku cuma gigit jari. Menyesal.
Apakah aku harus marah pada Mamiku? Ya nggaklah. Mami kan dulu belum pernah belajar ilmu parenting sehingga dia tidak mengerti kalau melabel anak itu efeknya tidak baik.
Di kelas Enlightening Parentingnya Mbak Okina, aku dibantu melepaskan label pemalas dengan menggunakan meta model chunk down.
Apa itu meta model ? Meta model atau pertanyaan klarifikasi  adalah bentuk serangkaian pertanyaan yang digunakan untuk memperoleh informasi lebih lengkap, sehingga berguna untuk memodel dunia lebih luas.  Sedangkan chunk down artinya mencacah informasi sehingga tampak detailnya. Manfaat mencacah informasi adalah untuk membangkitkan kesadaran,  dan mengembalikan persepsi ke realita yang sesungguhnya.
Okina : “Mbak Iwed, bagaimana tepatnya Mbak Iwed merasa bahwa Mbak Iwed itu pemalas? Apakah 30 hari sebulan, 7 hari seminggu, 24 jam sehari Mbak Iwed selalu malas?
Iwed : “Iya nggak juga. Tapi aku suka kadang malas mengerjakan suatu pekerjaan.”
Okina : “Biasanya kalau malas mengerjakan sesuatu itu dalam keadaan apa?
Iwed : “Kalau capek, atau sedang nggak enak badan.”
Okina : “Mbak Iwed pernah merasa rajin, nggak?
Iwed : “ Pernah.”
Okina : “Coba ceritakan apa saja kegiatan Mbak Iwed dalam satu hari.”
Iwed : “Aku bangun subuh, shalat, menyiapkan sarapan anak dan suami, mengantar anak ke sekolah, menulis, masak, jemput anak dan antar mereka les, antar anak pulang ke rumah, menemani mereka, menemani suami, lalu tidur.”
Okina : “Lha pekerjaan sebanyak itu dikerjakan tiap hari, kira-kira itu pekerjaannya orang pemalas apa bukan?”
Iwed : (Cengengesan).
Okina : “Saat Mbak Iwed mengerjakan pekerjaan-pekerjaan itu apa yang dirasakan?”
Iwed : “Semangat. Karena cinta sama anak dan suami.”
Okina : “Artinya Mbak Iwed bisa rajin kan? Bagaimana caranya supaya bisa rajin terus?”
Iwed : “Menjaga semangat, menjaga cinta pada keluarga, dan juga menjaga fitalitas dan  kesehatan badan.”
Okina  :“Jadi Mbak Iwed itu pemalas apa bukan?”
Iwed  :“Hehehe… bukan.”
Maka gugurlah limiting belief  itu.
Contoh lain cara menggugurkan limiting belief pernah aku lakukan terhadap Rafif yang melabel Bapaknya sebagai “tukang marah”. Hal ini terjadi karena pada saat marah, si Bapak nada bicaranya tinggi,suaranya keras, ekspresi wajah menyeramkan, sehingga heboh dan tertanam kuat di ingatan Rafif.
Berhubung Bapaknya Rafif sudah berkomitmen untuk berubah, berupaya menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya, maka aku merasa perlu membantu Rafif menggugurkan limiting belief atau label negatif yang terlanjur disematkannya. Tujuanku, dengan menggugurkan limiting belief , proses membangun kembali kedekatan yang diupayakan si Bapak pada Rafif bisa berjalan lebih  lancar.
Rafif : “Bapak itu tukang marah.”
Mama : “Rafif yakin Bapak tukang marah? Memangnya dalam 30 hari sebulan, setiap hari, setiap saat Bapak itu selalu marah?”
Rafif : “Ya enggak sih…”
Mama : “Coba, dalam sehari saja. Dalam 24 jam. Berapa kali dan berapa lama Bapak marah, Fif?”
Rafif : “Yaa.. nggak tiap hari sih..”
Mama : “Nah, di hari saat Bapak marah, berapa lama sih Bapak marahnya? Berapa jam atau berapa menit?”
Rafif : “Ya.. kira-kira 10 menitlah.”
Mama : “Sepuluh menit dalam 24 jam ya?”
Rafif : “Ya kira-kiranya segitu.”
Mama : “Oke. Yuk kita hitung presentasinya ya. Dalam 24 jam itu kan Bapak tidur kira-kira 7 jam. Jadi sisanya  17 jam. 10 menit dibagi 17 jam ya. Supaya enak kita jadikan menit semua. 10 menit dibagi 1020 menit itu sama dengan 0.98 %. Presentasi Bapak marah adalah 0.98 %. Artinya presentasi Bapak nggak marah adalah 99.02%. Benar nggak, Fif?”
Rafif : “Iya.”
Mama : “Nah,faktanya Bapak marah cuma 0.98% sedangkan tidak marah 99.02%. Lha kok bisa Rafif bilang Bapak itu tukang marah? Jadi sebenarnya, Bapak itu tukang marah apa bukan?”
Rafif : Cengengesan, lalu menggelengkan kepala.
Maka gugurlah sudah keyakinan Rafif kalau Bapaknya tukang marah. Alhamdulillah.. sekarang Rafif kalau ditanya kapan terakhir melihat Bapaknya marah, dia sudah tak ingat lagi. 🙂

Sumber : www.julianadewi.com
IG : @dewisutedja
FB : Juliana Dewi