Dulu, sebelum aku belajar parenting dari Mbak Okina Fitriani, aku seperti terjebak dalam lingkaran tak berujung. Setiap hari kejadian yang sama terus terulang. Padahal masalahnya tampak sepele. 

Si bungsu Rafif sangat sulit berangkat ke sekolah tepat waktu. Karena sering terlambat, Rafif mendapat gelar dari teman-temannya sebagai “ The Late Comer Boy.” Hiks..hiks…

Drama yang terjadi setiap hari adalah sebagai berikut. Aku membangunkan Rafif untuk shalat subuh, dengan susah payah. Lalu Rafif akhirnya bangun, melaksanakan shalat,  kemudian duduk di meja makan. Anak laki-laki pelajar SD itu makan sambil diselingi ngobrol, bercanda dengan Teteh-tetehnya, hingga acara makan itu menghabiskan waktu lama.  Bahkan lebih lama dari Teteh-tetehnya. 
Sang mama, alias aku sendiri, tak henti mengingatkan Rafif untuk segera menyelesaikan makan. Dari nada rendah hingga nada tinggi keluarlah ucapan-ucapan  mama.
“Cepatlah Nak, makannya. Ini sudah jam 6. Rafif harus mandi, pakai seragam. Belum lagi mandinya lama, nanti telaaat! Bla..bla…bla..bla…”

Si Rafif santai saja. Mandi pun dia tenang-tenang, meski mamanya teriak-teriak.
“Cepetan, Naaak! Cepetaaan!”
Dan begitu sampai sekolah, sudah lewat dari jam tujuh. Terlambatlah dia. Begitulah hampir setiap hari.
 Apa yang sudah dilakukan sang mama? Seperti kata Albert Enstein, “Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results.”  
Terjemahan kasarnya kira-kira begini :
” Kalo elo melakukan hal yang sama terus menerus dan mengharapkan hasil yang berbeda, itu gila, Booo’!” (Sambil nunjuk-nunjuk jidat sendiri). Huaaaa….  Baiklah. Setelah mengikuti training parenting, sang mama mulai pakai strategi. 
Malam harinya Rafif diajak bicara. Istilah kerennya diajak briefing.
Mama  : “Rafif, besok pagi kita harus berangkat dari rumah jam 6.15 supaya tidak terlambat.  Kalau lebih dari jam 6.15 kita akan terjebak macet lalu terlambat sampai sekolah. Jadi  target kita sekarang adalah berangkat ke sekolah jam 6. 15. Setuju?” ( Menentukan goal atau  tujuan)
Rafif  : “Oke”
Mama : “ Rafif punya waktu 45 menit untuk siap berangkat ke sekolah. Coba sebutkan kegiatan apa saja yang harus dikerjakan sebelum berangkat.”
Rafif : “Shalat, sarapan, mandi dan pakai baju.”
Mama : “Sekarang supaya waktu 45 menit itu cukup buat persiapan, apa yang harus dilakukan?”
Rafif  : “ Ya waktunya dibagi-bagilah”
Mama : “ Oke. Sekarang silakan Rafif bagi-bagi sendiri waktunya.”
Rafif : “ Shalat 5 menit, sarapan 15 menit, mandi 10 menit, pakai baju 5 menit. Mau tambah lagi ah, ada santai-santainya juga 10 menit ya.”
Mama : “ Oke, boleh ditambah santai-santai yang penting target berangkat jam 6.15 tercapai. Jadi kita sudah sepakat ya, dengan target dan uraian seperti yang Rafif buat sendiri. Setuju? Salaman dulu kita.. “
Besok paginya, Rafif lebih mudah bangun pagi, lalu shalat. Saat dia duduk di meja makan kepalanya menoleh terus ke arah jam dinding. Untuk memudahkan Rafif, Mama memberikan sebuah jam tangan digital. Jam itu lalu dipasang Rafif di tangannya.
Rafif menyelesaikan makannya dalam 12 menit. Kemudian dia mandi dengan memakai jam tangan digital, supaya tetap terkontrol lama sisa waktu yang dimilikinya.
Tepat jam 6.02 Rafif keluar kamar. Senyumnya lebar. Dia sudah mengenakan baju seragam, kaus kaki, dan menyandang tas. Siap berangkat ke sekolah.
Mama langsung melancarkan jurus memuji. Resepnya  adalah :

  1. Puji perbuatannya, bukan karakteristik orangnya. Hal ini untuk membuat anak yakin bahwa dia punya kendali atas perilakunya. 
  2. Nyatakan konsekuensi positif dari perilaku itu.
  3. Nyatakan dalam kalimat sederhana yang mudah dipahami
  4. Tanamkan keimanan untuk siapa / apa dia memelihara perilaku itu.

“Horeee!! Mama senang Rafif sudah bisa  mengatur waktu persiapan ke sekolah. Rafif tidak terlambat, bahkan lebih cepat. Allah suka sama anak yang memanfaatkan waktunya dengan baik. “
Dalam hati, sang Mama senang melalui pagi tanpa teriak-teriak seperti dulu.
Rafif tiba di sekolah pukul 6.40, sehingga masih ada waktu 20 menit untuk  bermain dan bersiap menerima pelajaran.
Sudah lama Rafif tak lagi mendengar teman-temannya memanggil dia dengan julukan “ The Late Comer Boy.”  Alhamdulillah.

Sekarang mari kita pelajari kasus sebelum dan sesudah belajar parenting. 

Dulu, waktu Mama masih pakai cara primitif,  bicara dari nada rendah ke nada tinggi pada Rafif, sebenarnya apa yang terjadi? Mama dikuasai nafsu ingin dituruti, ditambah lagi tekanan perasaan malu karena Rafif dapat label  buruk sehingga sebagai orang tua, sang Mama merasa bertanggung jawab. Tapi karena “peta mental” Mama masih sempit, dia tak melihat cara lain untuk membuat Rafif lebih cepat beraktivitas selain menaikkan nada suaranya dengan  seiring kondisi emosi yang meningkat. Sementara Rafif sebenarnya bingung, disuruh cepat itu maksudnya bagaimana? Cepat itu berapa lama?

Maka ketika di briefing, dengan cara membagi-bagi waktu aktivitas untuk mencapai target berangkat pukul 6.15 , masalahnya menjadi jelas buat Rafif. Rafif merasa sedang bermain game “racing” alias berlomba dengan diri sendiri untuk mencapai target waktu yang ditentukannya sendiri. Karena itu dia lebih mudah dibangunkan, karena dalam otaknya dia berkata,” Oke, it’s time to play.”

Lalu dia mulai melakukan aktivitas dan berusaha melakukan tak melebihi batas waktu yang ditentukan. Dia merasa puas dan menang ketika target tercapai, bahkan lebih cepat.

Ini video Rafif menceritakan pengalamannya :

Rafif menceritakan pengalamannya

Sumber : www.julianadewi.com
IG : @dewisutedja
FB : Juliana Dewi